Ketika Cinta menggores hati




Ketika Cinta Menggores Hati
Oleh : Nurhasan

Oh... Tuhan,
Berdosakah aku mencintainya
Karena kecantikan wajahnya ?
Oh... Rabb,
Salahkah aku menyukainya
Karena keindahan parasnya ?

Pancaran sinar matanya,
Bagai mentari di kala pagi,
Menghangatkanku,
Bagai rembulan di kala malam,
Menuduhkanku,
Bagai taburan bintang di lengkung hitam,
Menghiasi hatiku
Bagai warna-warni pelangi di rintik hujan,
Mewarnai hariku,
Bagai bunga-bunga yang bermekaran,
Mengindahkan batinku.

Senyuman dari wajahnya,
Bagai Telaga Kautsar yang memuaskan dahaga jiwaku
Belahan dua bibir lembutnya,
Membuai anganku,
Yang melayang-layang sampai keangkasa raya..

Suaranya yang halus,
Menggoda, menusuk kedalam kalbu,
Bagai sapaan ratu bidadari dari syurga.

Oh... Tuhan
Sungguh aku tak tahu,
Ini kata cinta atau kata nafsu...





Cerita Berhikmah .

“Mungkin aku sudah gila. Ya, Aku memang sudah gila,aku sungguh telah tergila-gila pada Dila.” gumam Reza.
Ternyata semakin lama, dan semakin sering bersua, perasaan Reza pada Dila, mulai berbeda. Ia sering bertemu dengan Dila meski hanya sekedar diskusi ringan dan saling pimjam buku, dan tentunya mereka semakin sering berkomunikasi dan berinteraksi.

Mungkin memang benar, Cinta itu lahir berawal dari seringnya bertemu dan berkomunikasi. Mungkin benar, Cinta itu tumbuh berawal dari pandangan lalu turun ke hati.
“Apa mungkin aku jatuh cinta padanya ?”hati Reza bertanya-tanya.

Dimatanya, Dila begitu indah, Dila begitu sempurna. Senyumannya yang manis, parasnya yang indah, sikapnya yang ramah, ditambah dengan kecerdasannya.
“Oh... Membuat aku terkagum-kagum, membuat aku gila.”gumamnya.

Disatu sisi Reza merasa, ia telah jatuh cinta pada Dila.Tapi disisi lain ia takut, jangan-jangan ia bukan jatuh Cinta, tetapi hanya Nafsu belaka. Lagipula kalau Ia memang benar-bena jatuh cinta, apa yang bisa ia lakukan ? Apakah ia harus mengungkapkan rasa itu ? Kalau ia harus mengungkapkan rasa itu, lalu apa ia harus berpacaran dengan Dila ? Seperti yang banyak dilakukan oleh teman-temannya. Tapi ia tahu, pacaran itu dilarang Agamanya, Islam. Tidak mungkin Ia mengotori kesucian agamanya yang begitu mulia, dengan nafsu setan yang hina.

“Lalu apa yang harus kulakukan ?” pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menghantui pikirannya, sementara batinnya tak kuasa membendung rasa itu. Ia benar-benar menderita.

Ia hanya bisa dan sering berandai-andai, “Andaikan saja Dila jadi ratu, dan aku jadi rajanya. Andaikan Dila jadi putri dan aku jadi pangerannya.Oh... Tidak., Dila memang benar-benar ratu, Dila memang benar-benar putri,bahkan Dila adalah bidadari.Tapi apa mungkin Dila bisa menjadi milikku ? Atau jangan-jangan itu hanya angan-angan hampa ?” khayalnya.

Ia genggam handphone nya, Ia pandang-pandangi foto Dila yang ada di layar hpnya. Meski hanya sebelah dari bagian wajah Dila yang terlihat, karena foto itu ia peroleh dengan kamera hpnya saat Dila sedang belajar di kelas,dan ia memotretnya tanpa sepengetahuan Dila. Foto itu terus ia pandangi, ia lepaskan segala rasa cinta dan rindunya pada Dila sambil memandang-mandangi foto itu. Tak pernah bosan-bosan ia memandangi foto itu, namun tak puas-puas pula jiwanya memandangi foto itu. Ia benar-benar gila.

Tiba-tiba, sebuah sms masuk ke hpnya. Ia buka dan ia lihat, ternyata sms dari Dila.
“Oh Tuhan, senangnya hatiku, sang pujaan hatiku mengirimiku sms saat aku sangat merindukannya, mungkin dia juga merasa apa yang kurasa saat ini” gumamnya dengan senyuman.

Lalu Ia baca sms itu.


“Hai, Reza, bsk Dila mw pulangin bku Fisika Reza yg kmrn, m’f ya mnjemnya kelamaan. Hmmm...tp Dila mw pinjem bku matematika, soalnya Dila da yg ketinggln, blh gak ?”

Hati Reza berdebar membaca sms itu, huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, seolah-olah menari sambil mendendangkan lagu-lagu Cinta dan nada-nada asmara. Padahal isi sms itu biasa-biasa saja, bahkan bukan berbicara tentang Cinta, melainkan tentang buku. Buku Fisika dan buku Matematika, tapi baginya Dila berbicara tentang Cinta dan Asmara. Ia benar-benar gila.

Lalu Ia balas.


“Hai jg Dila, oh g’pa2. Baiklh, bsk aku akn bwkan bku matematika ku.”

Hanya kata-kata itu yang ia kirim. Sebenarnya didalam hatiku banyak kata-kata yang ingin ia sampaikan, bahkan sebenarnya ia ingin menyampaikan,” Oh...Dila, pujaan hatiku, segalanya akan
kuserahkan untukmu, jangankan buku matematika, hati dan jiwaku akan kuserahkan jika kamu memintanya.” ia benar-benar telah gila.

“Tapi mengapa aku tak berani mengungkapkan perasaanku? Apa aku pengecut? Apa aku pecundang? Apa aku banci???” di satu sisi hatinya bertanya dan merendahkan dirinya sendiri.

“Oh...tidak, aku bukannya tak berani, aku bukannya pengecut, pecundang apalagi banci.
Tapi aku malu. Aku malu karena aku masih punya Iman, meski tanah tempat Imanku tumbuh kini tengah gersang dan tandus, tapi akan tetap ku pertahankan Iman ini” di sisi lain hatinya menjawab dan membela dirinya.”

***


Pagi ini, di sekolah. Hati Reza begitu senang. Ia kembali melihat Dila, memandang senyumannya, seperti memandang sang rembulan kala purnama, menyejukkan. Meski bibirnya kelu, mulutnya bungkam, suaranya membisu saat di hadapan Dila, Ia tak mampu mengungkapkan perasaannya.

Ia hanya diam, mungkin ia tidak mengerti betapa ruginya ia jika hanya diam tidak memanfaatkan waktu. Hasan Al-Bashri seorang tabi’in pernah mengucapkan perkataan yang amat indah, “Wahai anak Adam! Saya adalah hari yang baru. Saya bersaksi atas amal perbuatanmu, oleh karena itu manfaatkanlaah saya. Persiapkanlah dirimu dengan memanfaatkanku. Jika saya telah pergi saya tidak akan kembali hingga hari kiamat”. Ia juga berkata, “Wahai anak Adam! Engkau adalah hembusan nafas dan hari-hari. Jika nafasmu dan harimu telah pergi, maka itu berarti sebagian dari dirimu telah pergi. Jika sebagian dari dirimu telah pergi, maka sebagian yang lain juga akan pergi (semuanya akan pergi)”. Namun sayang, bagi seorang yang sedang jatuh cinta seperti Reza, waktu tidaklah berarti. Jika seseorang telah menganggap waktu tak lagi berarti, artinya ia menganggap nyawanya tak lagi berarti.

Waktu terus bergulir, pagi telah berubah menjadi siang. Disiang ini pun ia masih dalam diamnya, hanya berani memperhatikannya dari kejauhan, dan sesekali mencuri pandang.

Waktu tidak pernah peduli dengan diamnya, meski ia diam, tapi waktu terus saja berjalan. Hingga akhirnya waktu pulang sekolah tiba, ia hanya terdiam. Semua orang berebut keluar dari gerbang sekolah, sementara ia tetap saja dalam diamnya. Tiba-tiba, seseorang menghampirinya.
“Hai...Rez, buku matematika yang kamu janjikan tadi malam kamu bawa, tidak?” tanya seseorang itu dengan senyuman memikat. Spontan hati Reza bergetar, memberikan reaksi pada seluruh saraf-sarafnya, siapa lagi dia kalau bukan Dila.
“I..I..Iya, aku bawa” jawabnya dengan sedikit salah tingkah, lalu merogoh tasnya dan mengmbil buku Matematika dari dalamnya.
“Nich bukunya !” Reza menyerahkan buku itu.
“Terimakasih ya...” ucapnya Dila sambil tersenyum, dan membuat hati Reza semakin bergetar hebat. Lalu Dila pulang tanpa memperdulikan Reza yang masih terdiam memaku.

“Andaikan dia pulang bersama denganku” gumam Reza. Tapi tidak, Dila pulang bersama dua temannya, dan tetap mininggalkan Reza yang seorang diri. Perlahan, diam-diam Reza mengikuti langkah Dila dan teman-temannya dari belakang.
“Oh, Dila. Meskipun aku tak bisa pulang bersamamu, setidaknya aku pulang mengikutimu dari belakang. Dengan begitu aku bisa mencium aroma tubuhmu, aroma cinta dari dalam hatimu, meski hanya dari kejauhan” pikir Reza sambil mengikuti Dila dan teman-temannya. Ia benar-benar semakin gila.

Baru sesaat Ia mengikuti Dila dan teman-temannya, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri mereka dengan sepeda motor. Seseorang itu adalah seorang cowok, lalu Dila pulang bersama cowok itu, sementara dua orang teman Dila tetap tinggal. Sepertinya cowok itu memang sengaja menjemput Dila.
“ Dia siapa ? “ tanya Reza penasaran. Namun karena ia hanya sendiri, ia tujukan pertanyaan itu pada hatinya, namun ia sama sekali tak mengenali orang itu.

Hatinya bergetar, getaran itu adalah getaran cemburu dan gelisah. “Cowok itu siapa?”. “Saudaranya??? Temannya??? Atau??? Pacarnya??? hatinya terus bertanya-tanya. Hatiku yang tadi bergetar, sekarang semakin bergetar kencang, gelisah.

Ia percepat langkah kakinya, ia hampiri dua teman Dila yang masih berjalan di depannya.
“Hai...Mira” sapanya pada salah seorang dari mereka.
“Hai...Rez,” balasnya.
“Oh iya...kalau boleh tau, cowok yang menjemput Dila tadi siapa? Saudaranya? Temannya?” tanya Reza penasaran, dan berharap semoga cowok itu hanya saudara atau temannya.
“Bukan, cowok itu pacar Dila.” Jawab Mira, lurus, langsung, tanpa basa-basi.

Mendengar jawaban itu, hati Reza seperti diguncang badai, ia mendapatkan jawaban yang tidak ia duga.
“Pacar Dila ?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, benar” jawab Mira meyakinkan.

Langkah kaki Reza terhenti, kedua kakinya terpancang memaku di pinggir jalan, sementara kedua teman Dila itu terus berjalan, menjauh hingga lenyap dari pandangannya. Ia masih diam, kakinya terasa kaku, berat untuk dilangkahkan. Ia masih belum bisa terima dengan jawaban teman Dila tadi, hatinya benar-benar diliputi kekecewaan.

***


Di atas sajadah cinta kepada Allah, ia bersujud, dan melantunkan ayat-ayat cinta dari Allah, ia bermunajat, bermuhasabah di hadap-Nya.

“Ya Allah, ampunilah dosaku. Jangan jadikan aku hamba nafsu, jangan biarkan aku lebih mencintai yang lain dari pada-Mu. Kuatkanlah imanku, teguhkanlah pendirianku.” Lirihnya.

“Ingin kulupakan semua tentang Dila. Ingin kuhapuskan semua tentang dia. Namun apa daya, hatiku telah tergores oleh Cinta pada Dila. Karena hatiku telah tergores oleh Cinta, sudah pasti Cinta itu telah menjalar keseluruh tubuhku, seperti aliran darah. Oh, Tuhan, bantulah aku. Jika hati ini tergores oleh duri, mungkin akan segera sembuh. Namun kala hati ini tergores oleh Cinta, adakah harapan sembuh ? Meski ada, pasti akan meninggalkan bekas goresan itu” gumamnya dalam hati.

Ia terus berbicara dalam hatinya, berharap Sang Rabb mendengarkan rintihannya. Ia malu pada dirinya, dan malu pada Rabbnya. Ia memang benar-benar telah gila, ia ingin kembali kepada Allah, menyandarkan hatinya pada Allah.

Lalu ia berbicara pada dirinya sendiri, Ia katakan,

“Hai... Reza! Kau jangan bersedih. Berbahagialah, karena kamu masih dalam kemenangan, menang melawan nafsu dan menang mengalahkan Setan.

Hai... Reza! Kau jangan bersedih. Kamu bukan pecundang, bukan pengecut, bukan pula banci. Kamu adalah orang yang kuat, kamu menegakkan Imanmu. Kamu meneguhkan pendirianmu.

Hai... Reza! Kau jangan bersedih. Harusnya kamu bersyukur apabila Dila tidak menjadi kekasih hatimu, karena ternyata dia tidak seperti yang kau pikirkan. Dia mengecewakanmu, dia tidak bisa menjaga Imannya.

Hai... Reza! Kau jangan bersedih. Bersabarlah,,suatu saat nanti, pujaan hatimu pasti akan datang. Meski Dila telah pergi, masih banyak Dila-Dila yang lain di permukaan bumi ini, yang lebih baik.

Hai... Reza! Kau jangan bersedih. Lebih baik mati berkalang Iman, daripada hidup diperbudak Setan.”

Seketika kesedihannya musnah. Seketika semangatnya membuncah.
“Segala puji Untuk-Mu Ya Rabb” ia bersujud syukur .

0 komentar:

Posting Komentar

 
Animated Chocolate Heart Shiny Love

Translate